Kamis, 08 Oktober 2015

KASIH KARUNIA ALLAH VS PENGUDUSAN DIRI: KOREKSI TERHADAP AJARAN HYPERGRACE


Oleh: Albert Rumampuk


Beberapa mingu lalu saya menerima kiriman buku dari sepupu yang berjudul ‘Hypergrace.’ Buku ini mulanya ditulis dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Penulisnya adalah Michael L. Brown, PhD. Ini semacam buku apologetik, yang berisi tanggapan Brown terhadap ajaran Hypergrace. Setelah membacanya, saya melihat bahwa ajaran ini cukup berbahaya. Para pengikutnya menggunakan ayat-ayat Kitab Suci untuk membenarkan pandangan-nya. Bagi jemaat yang tak paham Alkitab, bisa saja terseret ‘bujukan maut’ mereka. Pengajaran tentang itu rupanya sudah cukup populer dan berkembang bahkan juga diluar negeri.

Definisi dan ajaran Hypergrace


‘Hyper-grace’ adalah sebuah istilah yang kelihatannya terdiri dari gabungan 2 kata; ‘Hyper’ yang berarti ‘berlebihan,’ dan ‘grace’ yang berarti ‘Anugerah atau kasih karunia’. Istilah ini dapat diartikan sebagai ‘Anugerah yang berlebihan,’ atau yang juga disebut Brown sebagai ‘Kasih Karunia overdosis.’ Jadi, ajaran ‘Hypergrace’ adalah sebuah ajaran yang terlalu melebih-lebihkan konsep kasih karunia Allah.

Bagaimana ajaran-nya? Saya mencatat sedikitnya ada tiga hal:
  • Salib Kristus bukan hanya menghapus dosa, tetapi juga menghilangkan sifat dosa dalam diri orang percaya.
  • Ajaran tentang kekudusan/penyucian diri buat mereka adalah sebuah “kebohongan yang membunuh kerohanian.”
  • Jika berdosa, tak perlu minta ampun kepada Tuhan, karena Yesus telah mengampuni semua dosa kita, baik dosa masa lalu, sekarang dan masa depan.
Tokoh-tokoh/pengajar dari Hypergrace antara lain: Joseph Prince, Clark Whitten, Rob Rufus, John Crowder, Paul Ellis, dsb. Para pengajar di Indonesia juga ada, dan bahkan saya mendengar akan diadakan debat teologis tentang ajaran ini.


Kasih Karunia Allah Vs Pengudusan diri


Kedua hal ini sepertinya dipertentangkan oleh penganut Hypergrace. Kita diselamatkan karena Anugerah semata, tak ada apapun yang bisa dilakukan manusia untuk selamat. Hidup saleh/perbuatan baik, tidak bisa membawa manusia ke surga. Berdasarkan hal itu, maka kelompok Hypergrace menganggap tak perlu lagi memohon pengampunan kepada Tuhan jika kita jatuh dalam dosa. Buat apa minta ampun pada Tuhan jika semua dosa kita telah diampuni lewat kematian Kristus? Jadi, ajaran tentang kekudusan/penyucian diri yang dilakukan terus-menerus sepertinya adalah sebuah ketidakpercayaan terhadap pengampunan/pembenaran atas semua dosa yang telah dilakukan Kristus di kayu salib. Ayat yang digunakan misalnya dalam Rom 3:24 “dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus”.  Juga Yoh 19:30 “Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: ‘Sudah selesai.’ Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya.” Kata-kata ‘Sudah selesai’ dalam Yoh 19:30 berasal dari kata Yunani TETELESTAI. Paul Enns mengomentari demikian: “Setelah enam jam diatas kayu salib Yesus berseru, ‘Sudah selesai!’ (Yunani: tetelestai). Yesus tidak mengatakan, ‘Saya telah selesai!’, tetapi ‘telah selesai’. Ia telah menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Bapa kepada-Nya; karya keselamatan telah diselesaikan. Tensa bentuk lampau dari kata kerja tetelestai dapat diterjemahkan, ‘hal itu akan tetap selesai’, artinya pekerjaan itu untuk selamanya selesai dan akibat dari selesainya pekerjaan itu terus berlaku.” (Paul Enns, The Moody Handbook Of Theology, hal. 167, Penerbit: Literatur SAAT). Kematian Yesus di kayu salib, faktanya memang terjadi sekitar 2000-an tahun yang lalu, tetapi karya/hasil dari penebusan-Nya itu, seterusnya ada/berlaku. Pernyataan Yesus yang agung ini adalah bukti jaminan keselamatan bagi mereka yang percaya pada-Nya. Tak ada lagi korban yang dibutuhkan. Kristus adalah korban yang sempurna, sekali dan untuk selamanya. Ini sungguh Kasih Karunia yang indah dan ajaib! Tetapi apakah keajaiban Kasih-Nya itu sudah cukup, sehingga kita tak perlu lagi hidup di dalam kekudusan?  

Pertama-tama kita akan membahas arti kata-kata Kasih Karunia. Kata Anugerah atau Kasih Karunia muncul sebanyak 155 kali dalam PB. Itu dari kata Yunani Kharis. Menurut Chris Marantika, kata ini memiliki kekayaan arti yang luar biasa: ‘Pernyataan kasih Allah, Pengucapan syukur dan pernyataan berkat.’ (Marantika, Doktrin keselamatan dan kehidupan rohani. Hal. 34-37, Penerbit: Iman Press). Jika kita melihat teks dalam Ef 2:8 dan Rom 3:24, maka bisa disimpulkan bahwa istilah ‘Kasih Karunia,’ itu berarti ‘pemberian dari Allah kepada manusia secara Cuma-Cuma, dimana sebetulnya manusia itu tak layak menerimanya.’

Bandingkan dengan contoh berikut: Jika seorang anak berhasil dalam studinya atau mendapat juara di kelasnya, maka biasanya orang tua menjadi senang dan memberikan hadiah kepada sang anak. Perhatikan, hadiah itu diberikan kepada sang anak karena si anak itu sukses dalam studinya. Tetapi ini berbeda dengan pemberian dari Allah. Keselamatan/pembenaran yang Allah berikan itu bukan karena usaha, keberhasilan, kebaikan, kehebatan manusia, dsb. Itu adalah anugerah yang Cuma-Cuma! Manusia yang telah rusak secara total karena dosa, sebenarnya tak layak menerima hadiah dari Allah itu. Namun Allah yang adalah kasih, memberikannya secara gratis tanpa bayaran apapun. Itulah Kasih Karunia Allah!   

Allah menganugerahi kehidupan kekal kepada orang-orang yang percaya pada Kristus (Yoh 3:16) dan oleh karenanya, keselamatan itu adalah sebuah kepastian dan tidak ada perubahan di dalamnya (Yoh 10:28-29). Mengapa keselamatan kita terjamin? Karena semua dosa-dosa kita telah ditebus/diampuni-Nya, sehingga kita dibenarkan secara lengkap/sempurna (Ibr 9:12; 10:12,14). “Sebab oleh satu korban saja Ia telah menyempurnakan untuk selama-lamanya mereka yang Ia kuduskan.” (Ibr 10:14)

Jikalau demikian, masih perlukah pengudusan diri? Ajaran tentang hal ini dianggap sebagai sebuah “kebohongan yang membunuh kerohanian” oleh para penganut Hypergrace. Jika kita melihat sepintas, dasar argumentasi dari kelompok Hypergrace ini ada benarnya juga. Saya setuju bahwa saat beriman pada Kristus, maka segala dosa kita diampuni. Pengampunan ini mencakup dosa-dosa masa lalu, masa sekarang dan yang akan datang. Ini Alkitabiah. Tetapi persoalannya adalah, penganut Hypergrace hanya menekankan hal ini saja. Ini memang adalah sebuah kebenaran, tetapi itu hanya ‘sebagian.’ Dengan kebenaran yang ‘sebagian’ itu, mereka kemudian menambahinya dengan ide-ide / pemikiran mereka sendiri dan dianggap telah mewakili seluruh kebenaran dalam Alkitab. Ada begitu banyak teks Alkitab yang menganjurkan kehidupan yang kudus, misalnya Ibr 12:14; 1 Ptr 1:15, dsb. Keselamatan yang dianugerahi bukanlah sebuah pengesahan agar kita bisa hidup seenaknya saja, kita perlu pengudusan diri secara kontinyu. Namun perlu dicatat bahwa anjuran hidup kudus bukan berarti kita bisa menjadi sempurna sama seperti Kristus yang tak bercacat cela. Ini sebuah kemustahilan. Yang ditekankan adalah usaha manusia bukan pencapaian mutlak sempurna saat masih didunia. Saat menuliskan Ibr 12:14, Thiessen berkomentar: “Ayat Alkitab ini lebih banyak menekankan usaha untuk mencapai kekudusan dalam kehidupan ini daripada menekankan realisasi kekudusan penuh dalam kehidupan.”  (Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika, Hal. 441, Penerbit: Gandum Mas).

Setelah memahami hal-hal ini, maka sebetulnya kedua tema tersebut (Kasih Karunia dan Kekudusan hidup), seharusnya tak perlu dipertentangkan. Keduanya ada dan di ajarkan di dalam Alkitab.


Koreksi terhadap ajaran Hypergrace

  1. Salib Kristus bukan hanya menghapus dosa, tetapi juga menghilangkan sifat dosa dalam  diri orang percaya.

    John Crowder berkata: “Sama seperti adanya aliran mistis baru yang sedang bangkit, saya percaya bahwa itu disertai dengan sebuah reformasi baru. Kabar baik akan diberitakan dengan sedemikian jelas sehingga konsep kasih karunia dan iman pada masa Luther akan tampak kuno.”.. “Bahkan mereka yang membawa reformasi tidak cukup mengalami reformasi. Anda akan melihat bagaimana salib mempersatukan kita dengan Kristus, bukan hanya secara posisi saja, tetapi secara efektif. Itu bukan hanya menghapus dosa kita, tetapi juga menghilangkan sifat dosa itu sendiri dari dalam diri kita.” (Michael L. Brown, PhD. Hypergrace. Hal. 12, Penerbit: Nafiri Gabriel).

    Tanggapan:   

    Saya tak tahu apa yang di maksudkan dengan istilah ‘sifat dosa’ tersebut. Jika dia memaksudkan bahwa itu berarti ‘kecenderungan untuk berbuat dosa yang sudah tak ada lagi didalam diri orang percaya’, ini tentu adalah sebuah kekeliruan. Perhatikan teks berikut: 1 Yoh 1: 8-10 – “(8) Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. (9) Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. (10) Jika kita berkata, bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalam kita.”
    1 Yoh 2:1 – “Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa, namun jika seorang berbuat dosa, kita mempunyai seorang pengantara pada Bapa, yaitu Yesus Kristus, yang adil.”        

    Ayat 8 secara jelas mencatat bahwa klaim atas ketidakberdosaan diri, adalah sebuah penipuan! Ini juga sama saja menjadikan Allah sebagai seorang pendusta (ayat 10). Kata-kata “mengaku dosa” (ay 9) dan “jika seorang berbuat dosa,” secara implisit menyiratkan bahwa orang percaya bisa jatuh dalam dosa. Jadi jelas bahwa kecenderungan (sifat dosa) itu tetap masih ada dalam diri manusia. Paul Enns mencatat bahwa Dosa adalah suatu prinsip dalam diri manusia. Dosa bukan hanya suatu tindakan tetapi juga suatu prinsip yang diam dalam diri manusia. Paulus menunjuk pada pergumulan dengan prinsip dosa dalam dirinya (Rom 7:14, 17-25); semua orang memiliki natur dosa ini (Gal 3:22). Ibrani 3:13 menunjuk pada hal itu sebagai ‘tegar hati karena tipu daya dosa’. Yesus juga menunjuk dosa sebagai suatu ‘kondisi atau karakteristik dari kualitas’ (Yoh 9:41; 15:24; 19:11). [Paul Enns, The Moody Handbook Of Theology, hal. 383. Penerbit: Literatur SAAT). Jadi adalah omong kosong kalau setelah percaya Kristus kita langsung jadi manusia super yang bebas dari dosa keseharian-nya.
  2. Ajaran tentang kekudusan/penyucian diri adalah sebuah “kebohongan yang membunuh kerohanian.”

    Brown yang mengutip perkataan Pdt. Whitten berkata: Jika anda mengajarkan bahwa kita diselamatkan oleh kasih karunia Tuhan, dan sekarang sebagai orang percaya kita dipanggil oleh Tuhan mengerjakan keselamatan kita dan mengejar kekudusan hati dan kehidupan – dengan kata lain, menjalani proses penyucian yang terus berlangsung – Anda sedang mengajarkan tentang ‘modifikasi perilaku’, Anda ada didalam ‘urusan manajemen dosa’, anda sedang menyebarkan ‘kebohongan yang membunuh kerohanian’ seperti yang dilakukan oleh Luther dan Calvin, dan anda perlu menerima pewahyuan baru dari reformasi baru ini, yaitu revolusi kasih karunia..” (Michael L. Brown, PhD. Hypergrace. Hal. 12, Penerbit: Nafiri Gabriel).

    Tanggapan:   

    Pengudusan diri itu penting karena paling tidak ada dua alasan: 1] Itu adalah ajaran Kitab Suci. Ibr 12:14 berkata  “Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan.” ( Lihat juga dalam 1 Ptr 1:15, dsb); dan 2] Itu merupakan bukti kehadiran/pemenuhan Roh Kudus dalam diri orang percaya (Gal 5:22-23).

    Para teolog membagi pengudusan diri dalam 3 aspek: 1] Pengudusan secara posisi. Orang percaya dipisahkan sebagai orang-orang yang suci dalam keluarga Allah. Yang ditinjau bukan keadaan rohani-nya, tetapi iman-nya pada Kristus (Misalnya jemaat Korintus yang secara posisi suci, tetapi kehidupannya masih duniawi - 1 Kor 6:11). Kematian Kristus menguduskan kita, kekal secara posisi (Ibr 10:10, 14). 2]. Pengudusan secara pengalaman. Ini menunjuk proses pemisahan terus-menerus. 1 Ptr 1:16 mencatat “Kuduslah kamu...” ini adalah perintah bagi orang percaya untuk terus menerus berusaha hidup kudus. 3]. Pengudusan akhir. Ini bicara kesempurnaan total yang diperoleh saat kedatangan Yesus kembali dalam tubuh kemuliaan (Fil 3:20-21).  [Marantika, Doktrin keselamatan dan kehidupan Rohani, hal. 141-144].

    Usaha untuk menguduskan diri secara terus menerus bukan-nya sebuah ‘pelecehan’ terhadap karya penebusan Kristus, tetapi sebaliknya, justru Tuhanlah yang dipermuliakan lewat kehidupan kita (bdk. Mat 5:16). Mereka yang anti terhadap kekudusan hidup, justru dipertanyakan: “Roh Kudus-kah yang memenuhi mereka, ataukah roh setan?”
  3. Para pengajar Hypergrace mengklaim tak perlu minta ampun kepada Tuhan, karena Yesus telah mengampuni semua dosa kita, baik dosa masa lalu, sekarang dan masa depan.

    Joseph Prince: “Kasih karunia-Nya menjadi murah ketika anda berpikir bahwa Ia mengampuni dosa-dosa anda hanya sampai pada saat anda diselamatkan, dan setelah itu, anda harus bergantung pada pengakuan dosa anda untuk diampuni. Pengampunan Tuhan tidak diberikan secara cicilan... Sahabat, inilah jaminan yang bisa engkau miliki sekarang: Pada hari engkau menerima Kristus, engkau mengakui semua dosamu sekali dan untuk selamanya.” (Michael L. Brown, PhD. Hypergrace. Hal. 51, Penerbit: Nafiri Gabriel).

    Ryan Rufus: “Saya ingin menyatakan kepada anda sekarang – semua dosa masa depan anda sudah diampuni!... Tetapi meskipun seandainya kita berbuat dosa, jangan mulai memohon pengampunan kepada Tuhan. Jangan mencoba untuk mengakui dosa itu. Jangan bertobat dari dosa itu. Arahkan pandangan anda kepada Yesus. Taruh iman anda di dalam Yesus. Teruslah berjalan di dalam perjanjian Roh. Teruslah berjalan dalam ikat janji kasih karunia. Teruslah deklarasikan pengampunan yang mutlak bagi anda.” (Michael L. Brown, PhD. Hypergrace. Hal. 52, Penerbit: Nafiri Gabriel).

    Rufus juga berkata: “Sebagai orang percaya Perjanjian Baru yang sudah dilahirkan kembali, tetapi masih juga memohon pengampunan setelah berbuat dosa, itu adalah sebuah dosa. Itu adalah dosa karena ketidakpercayaan. Anda tidak percaya akan karya Yesus yang sudah selesai di atas kayu salib.” (Michael L. Brown, PhD. Hypergrace. Hal. 66-67, Penerbit: Nafiri Gabriel).

    Brown: “Tetapi guru-guru kasih karunia modern ini sungguh-sungguh memercayai hal ini... bahwa setiap gereja di dunia yang menggunakan doa Bapa Kami di dalam liturgi ibadahnya sedang menekankan ‘kabar buruk yang membuat kita gemetar’... Mengapa? Karena salah satu fondasi dari pesan mereka adalah pada saat anda diselamatkan, Tuhan bukan hanya mengampuni dosa anda di masa lalu dan masa sekarang, tetapi juga dosa anda di masa depan. Menurut mereka, ini berarti sungguh salah meminta Tuhan untuk mengampuni anda ketika anda berbuat dosa hari ini, dan sangat salah untuk berpikir bahwa pengampunan anda didasari atas pengampunan anda terhadap orang lain... (Mat 6:12, 14-15). Guru-guru kasih karunia modern menegaskan bahwa hal ini tidak berlaku bagi orang percaya sekarang ini, dan karena itu jutaan orang percaya yang menutip kata-kata ini di dalam doa juga ada dalam kekeliruan yang serius, benar-benar tidak memahami kasih karunia Tuhan. Itulah ‘revolusi kasih karunia’ yang harus kita percayai, menurut mereka.”  (Michael L. Brown, PhD. Hypergrace. Hal. 21. Penerbit: Nafiri Gabriel)

    Tanggapan:

    Saya sependapat bahwa pengudusan yang Tuhan berikan itu sempurna (Ibr 10:10, 14), penebusan-Nya sempurna (Bdk. Yoh 19:30). Tetapi benarkah Kitab suci melarang untuk mengakui dosa kita? Untuk menjawab hal ini sebetulnya gampang. Tunjukkan saja 1 Yoh 1:9 - "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan." Kata-kata ‘Mengaku dosa’ menunjukkan bahwa sebelumnya orang tersebut telah berdosa, dan karena itu, Yohanes menganjurkan untuk mengakui dosa itu (Bandingkan dengan doa pengakuan dosa dalam  Mazmur 51:9, 11, 12, dan juga doa permohonan ampun dalam Luk 11:3-4). Tafsiran para pakar PB yang dikutip Brown sangat baik untuk mengantisipasi hal ini.

    “1:9 ‘mengaku’ ini adalah gabungan istilah bahasa Yunani dari ‘berbicara dan ‘sama’. Orang percaya tetap sepakat dengan Tuhan bahwa mereka telah melanggar kekudusan-Nya (bdk. Rom 3:23). Ini menunjukkan WAKTU SEKARANG (PRESENT TENSE), yang menyiratkan tindakan yang terus berlangsung. Pengakuan menyiratkan (1) penyebutan dosa yang spesifik [ay 9]; (2) pengakuan dosa terbuka [bdk. Mat 10:31; Yak 5:16; dan (3) berbalik dari dosa spesifik [bdk. Mat 3:6; Mrk 1:5; Kis 19:18; Yak 5:16]...” A.T. Robertson, seorang ahli bahasa Yunani, mencatat ayat itu secara harfiah: “jika kita terus mengaku.”  (Michael L. Brown, PhD. Hypergrace. Hal. 74-75, Penerbit: Nafiri Gabriel).

    Namun ini belum berakhir, penganut Hypergrace punya sanggahannya: 1 Yoh 1:9 bukan menunjuk pada orang percaya, tetapi mereka yang tak percaya dari kelompok Gnostik yang menyusup ke dalam jemaat Yohanes. Setidaknya itulah yang di katakan oleh Andrew Farley, Andre van der Merwe, Joseph Prince, dan para guru Hypergrace lainnya (Michael L. Brown, PhD. Hypergrace. Hal. 68-69, Penerbit: Nafiri Gabriel). Brown menjawabnya dengan menunjukkan komentar para pakar bahwa dalam kitab ini, Yohanes tidak sedang menentang ajaran Gnostik (Michael L. Brown, PhD. Hypergrace. Hal. 69-70, Penerbit: Nafiri Gabriel).
    Tafsiran para guru Hypergrace juga tak masuk akal, karena konteks dari kitab 1 Yoh 1 jelas sekali bukan menunjuk pada orang tak percaya (lihat kata ‘kami/kita’ mulai ayat 1-10), tetapi untuk Yohanes dan orang percaya lainnya. Demikian pula untuk kasus ‘doa Bapa kami,’ pada saat penganut Hypergrace mempersalahkan orang yang menaikkan doa Bapa kami yang berisi permohonan ampun atas dosa, itu sama saja dengan mempersalah Yesus yang mengajari doa tersebut.
Penutup: Mengapa pemahaman Hypergrace salah?

Saya sependapat dengan definisi bidah (ajaran sesat) yang diberikan oleh seorang ahli teologia: “... mengambil separuh kebenaran dan menjadikannya seluruh kebenaran.” Para penganut Hypergrace biasanya memberikan penekanan yang tidak seimbang/berat sebelah dalam setiap ajarannya. Mereka hanya menyoroti sebagian dari ayat-ayat Kitab Suci, tetapi mengabaikan ayat-ayat yang lainnya atau menafsirkannya secara salah. Kebenaran-kebenaran dalam Alkitab dijadikan seakan-akan bertentangan satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, mereka yang hanya menerima ayat-ayat tentang ke-esaan Allah tetapi menolak 'kejamakan tertentu' dalam diri Allah, ini mengakibatkan munculnya ajaran sesat Saksi Yehuwa, Unitarian, dsb. Demikian pula dengan teori Hypergrace. Sumber kesalahan-nya karena mereka hanya menekankan kasih karunia Allah (secara kelewat batas), namun membuang kebenaran yang lainnya. Bandingkan Yoh 1:17 – “sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus.”

Hypergrace adalah ajaran yang bisa meninabobokan manusia. Ini adalah ajaran yang pincang dan para penganut-nya, patut dicurigai: “Apakah mereka seorang Kristen sejati atau bukan??”. Bayangkan, jika kita tak perlu lagi minta ampun karena menganggap bahwa Yesus telah menebus segala dosa kita. Bukankah secara implisit mereka sebetulnya melegalkan dosa?

John Owen berkata: “Saya tidak mengerti bagaimana seseorang bisa merupakan orang kristen yang sejati, kalau bagi dia dosa bukanlah beban, kesedihan dan kesukaran yang terbesar".

Biarlah Kristus yang bertahtah dalam kita, memampukan kita untuk hidup kudus sampai kedatangan-Nya kembali.  Amin.



2 komentar:

  1. Mantap, setuju dengan uraian dan tanggapan Pak Alberd, Hypergrace meniadakan konsep eskatologis dalam uraiannya tentang dosa sehingga penyucian secara posisi, pengalaman dan penyucian final sebagaimana uraian Pak Alberd di atas tidak tersentuh oleh mereka.

    BalasHapus
  2. Mantap, setuju dengan uraian dan tanggapan Pak Alberd, Hypergrace meniadakan konsep eskatologis dalam uraiannya tentang dosa sehingga penyucian secara posisi, pengalaman dan penyucian final sebagaimana uraian Pak Alberd di atas tidak tersentuh oleh mereka.

    BalasHapus